Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

ALMAMATERKU KEBANGGAANKU SEPANJANG MASSA

Senin, 09 Mei 2011

WASPADA PONPES AL-ZAYTUN SARANG NII

Senin, 09 Mei 2011
1 komentar


INILAH MA'HAD YANG SELAMA INI JADI SARANG NII
MA'HAD INI BEGITU MEWAH DAN MEGAH
FASILITAS YANG ADA STANDAR INTERNASIONAL
GEDUNGNYA SEKELAS APARTEMEN MEWAH
LALU DARIMANA MEREKA MENDAPATKAN DANA



"NII BUKANLAH AJARAN ISLAM"

AWAS GERAKAN SESAT NII BERSEMBUNYI DI BALIK PESANTREN MEWAH "MA'HAD AL-ZAYTUN" INDRAMAYU JAWA BARAT

"GERBANG MAH'AD AZ-ZAYTUN"
"KOMPLEK MA'HAD AL-ZAYTUN"


"HUTAN KOTA MA'HAD AL-ZAYTUN"


"KAMPUS MEWAH AL-ZAYTUN"

KOMPLEK PERKANTORAN YANG MEGAH


"STADION AL-ZAYTUN FC"


"GEDUNG SERBA GUNA AL-ZAYTUN"


"MASJID AL-ZAYTUN"




read more

NII DALAM TIMBANGAN (2)

0 komentar

NEGARA ISLAM INDONESIA NII

DALAM TIMBANGAN

(Oleh : Ustadz Abu Hudzaifah Suroso Abdussalam)



Pasal 2
Akidah yang Menjadi Ajaran NII, dalam Tinjauan.

Berikut ini akan kita ketahui aqidah yang menjadi ajaran NII. Kita mulai dari aqidah yang ditanamkan SM Kartosoewirjo di dalam mengader siswanya di Institut Suffah. Diuraikannya kalimat Laa Ilaha illallah sebagai berikut :

1. La maujuda illallah

Artinya: Tidak ada yang maujud kecuali atas ijin dan takdir Allah.

Pengertian singkatnya adalah bahwa setiap kejadian, baik yang disengaja oleh manusia ataupun tidak, baik yang sesuai dengan keinginan manusia ataupun tidak, yang bersifat biasa ataupun luar biasa, yang manis dan yang pahit, yang baik maupun yang buruk, itu semua adalah atas kudrat dan iradat Allah, atas kuasa dan kehendak Allah.

Posisi makhluk termasuk manusia, tidak ada peran sama sekali yang berpengaruh di dalan mewujudkan sesuatu, ia hanyalah saluran dan sambungan saja. Daya ikhtiar dan akal manusia, bagaimanapun besarnya tidak akan mampu mewujudkan sesuatu, tanpa izin dan kuasa Allah. Ikhtiar dan akal manusia hanya berfungsi sebagai sarana dan penyambung dari kuasa dan kehendak Allah yang Maha Mutlak. Karena itu, manusia harus menyadari akan kelemahan dan kekerdilannya di hadapan Allah Rabbul Izzati. Segala hidup dan kehidupan, bergantung mutlak kepada kuasa dan kehendak Allah, manusia tidak memiliki daya dan kuasa sedikit pun, kecuali atas kehendak dan kuasa Allah. Inilah yang dikatakan wahdatul maujud.

2. Laa Ma’buuda illallah

Artinya: Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah.

Setelah meyakini wahdatul maujud, artinya segala sesuatu yang maujud selain Allah, itu semua tergantung kudrat dan iradat Allah, selanjutnya kita harus meyakini bahwa semua yang dijadikan atas takdir Allah itu tidak ada yang sia-sia, tetapi semuanya itu untuk menjadi sarana dan medan pengabdian manusia kepada-Nya jua. Seorang Mukmin harus bertekad bahwa segala takdir yang terjadi pada dirinya, di mana saja, kapan saja dan bagaimanapun keadaannya, hanya akan dijadikan sarana beribadah dan mengabdi kepada Allah saja. Sebab kalau kosong dari nilai ibadah kepada Allah, dia akan terjebak kepada syirik atau maksiat kepada Allah. Hal ini biasa disebut wahdatul ma’bud atau tauhidul ibadah.

3. Laa Mathluba illallah.

Artinya: Tidak ada yang dicari untuk ditaati dan dicari untuk dihindari, kecuali perintah dan larangan Allah saja.

Setelah meyakini bahwa segala takdir yang datang kepada kita adalah untuk sarana ibadah kepada Allah, maka kita harus yakin bahwa segala takdir itu mengandung perintah dan larangan dari Allah yang terperinci. Kita harus berusaha mewarnai kehidupan kita sehari-hari dengan warna Islam saja, jangan sampai sesaat pun diri kita lepas dari nilai Islam, yang telah kita yakini sebagai satu-satunya Dienullah, sistem hidup yang telah digariskan Allah, yang membawa kemaslahatan kehidupan di dunia dan akhirat. Inilah wahdatul mathlub, artinya kebulatan gerak dan langkah sepanjang aturan-aturan Allah saja.

4. Laa maqsuuda illallah.

Artinya: tidak ada yang dituju (dimaksud) kecuali keridhaan Allah.

Setelah kita berada di jalan Allah, dengan melaksanakan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari, jangan sampai kita menyimpang dari arah dan tujuan hakiki yaitu keridhaan Allah. Jauhkan diri kita dari sifat riya, takabur ambisi dan tujuan-tujuan duniawi lainnya, yang dapat menghapuskan nilai amal kita. Jadi, kita melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, merealisasikan sistem Islam dan menjauhi sistem thaghut, itu tujuannya semata-mata ikhlas mencari keridhaan Allah; bukan yang lainnya. Inilah wahdatul maqshud (satu tujuan hanya untuk Al lah).[12]

Tafsir Laa ilaha illallah oleh SM Kartosoewirjo yang disadur oleh. A. Firdaus, sebagai generasi kedua NII (yang masuk NII dari 1962-1980), disadur lagi oleh majalah An-Naba’ [13] edisi 17/Th. II 1994. Tafsir itu pula yang dijadikan materi pokok tentang tauhidullah (aqidah) di lingkungan usrah yang telah pula berkembang cukup luas di Indonesia. Tafsir tersebut di atas juga terdapat di dalam tulisan/manuskrip sebagai penjelasan atas komando Imam tanggal 24 April 1962. [14] Manuskrip tersebut ditulis oleh tokoh NII generasi awal (Angkatan I/menjadi orang NII antara tahun 1949-1962).

Apabila kita amati dengan teliti, yang menjadi dasar tafsir SM Kartosoewirjo atas kandungan Laa ilaha illallah adalah terdapat di dalam butir pertama yakni tiada maujud kecuali Allah (wahdatul maujud). Butir pertama ini selanjutnya diikuti oleh butir tafsir kedua, ketiga dan keempat, seperti tersebut di atas. Ketiga butir tafsir itu (butir 2,3 dan 4) merupakan konsekuensi butir pertama. Apabila pembaca amati sekali lagi mengenai penjelasan wahdatul maujud, maka kita akan mendapati bahwa pemahaman, keyakinan atau ajaran tersebut telah sejak lama ada yang dikembangkan oleh Jahm bin Shafwan [15] dan terkenal dengan nama Jabriyah (Jabariyyah). [16]

Inti ajaran Jabariyah adalah serba taqdir. Ajaran ini sangat bersebrangan dengan ajaran Qadariyah yang menolak takdir.

Kedua ajaran ini termasuk bid’ah [17] dan hal itu tentu saja bathil. Orang-orang Jabariyyah beranggapan bahwa pengaturan terhadap seluruh perbuatan makhluk hanyalah menjadi hak Allah. Semua perbuatan makhluk merupakan perbuatan yang bersifat paksaan, seperti gerakan-gerakan getar,… Kalau perbuatan disandarkan kepada makhluk, itu hanyalah kiasan belaka. [18] Bagi Jabariyyah, manusia (seorang hamba) tidak mempunyai kemampuan dan tidak mempunyai pilihan apapun terhadap semua yang diperbuatnya, ia bagaikan bulu ditiup angin. Di dalam bahasa SM Kartosoewirjo, posisi manusia tidak memiliki peran sama sekali yang berpengaruh di dalam mewujudkan sesuatu, ia hanyalah saluran dan sambungan saja. Daya ikhtiyar dan akal manusia, bagaimanpun besarnya tidak akan mampu mewujudkan sesuatu, tanpa ijin dan kuasa Allah.

Madzhab Salaf (Ahli Sunnah wat Jama’ah) sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Fauzan dan Team Tauhid tentang Qadha dan Qadar sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah adalah pencipta segala sesuatu, Pengatur dan Pemiliknya. Tiada sesuatu pun yang keluar dari hal itu. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki pasti tidak terjadi. Tidak ada di alam semesta ini sesuatu yang terjadi melainkan dengan masyi’ah (kehendak) dan qudrat (kekuasaan) Nya. Tidak sesuatupun yang menghalangi Nya apabila Ia menghendaki sesuatu. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu yang telah lewat, yang akan terjadi dan yang tidak ada bagaimana seandainya ia ada. Dia telah menulis segala yang ada sebelum terciptanya; perbuatan para hamba, rezki, ajal dan bahagia atau celaka dan sebagainya. Seperti dalam firman Allah:

“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (Al-An’am:17).

“Katakanlah, sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.” (At-Taubah; 51).

“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (Al-Qashash: 68).

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22)

Adapun segala perbuatan, sifat dan kejadian yang berada di luar keinginan dan ikhtiar manusia, maka hal itu bukan medan taklif dari Allah dan tidak dinisbatkan kepada manusia. Tetapi ada perbuatan-perbuatan yang dapat dilakukan manusia dan berada dalam kemampuan manusia, yang kalau ia kerjakan berdasarkan kekuatan dan ikhtiar yang sudah dianugerahkan Allah kepadanya, maka tampaklah hikmah Allah dalam pembalasan. Seperti firman Allah:

“Supaya Dia menguji siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk:2 dan Hud; 7)

Setiap orang pasti merasa bahwa ia mampu melakukan perbuatan-perbuatan itu atau meninggalkannya. Jadi perbuatan-perbuatan itu benar-benar perbuatannya sendiri sesuai dengan kehendak dan keinginan (bukan majazi, tapi hakiki, –Pen.)

Allah berfirman, “Dan katakanlah, ‘Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zhalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (Al-Kahfi:29).

“Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath-Thur:21).

“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.” (At-Takwir: 28) [19]

Dengan penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa madzhab Salaf (Ahli Sunnah wal Jama’ ah) adalah pertengahan antara Qadariyah dan Jabariyah di dalam masalah yang kita bicarakan ini (takdir). Jika Qadariyah menetapkan perbuatan manusia tergantung manusia, tanpa ada ikatan dan kaitan dengan Allah. Sedangkan Jabariyah menetapkan segalanya tergantung kepada takdir Allah, sehingga manusia sama sekali tidak dapat berbuat, dan perbuatan manusia bagaikan bulu yang ditiup angin, sebagai saluran belaka, tidak ada upaya sama sekali, tidak berbuat dengan makna hakiki. Maka, keduanya (Qadariyah dan Jabariyah) merupakan firqah bathil.

Lebih luas lagi, tafsir SM Kartosoewirjo terhadap Kalimat tauhid (Laa ilah illallah) seperti disebutkan di atas (4 butir), ternyata juga bermuatan aliran tarekat sufi tertentu. Sebab hanya orang-orang sufi sajalah yang menyatakan kalimat wihdatul wujud. Aliran Wihdatul Wujud menyatakan bahwa tingkat tertinggi dari keimanan apabila seseorang telah bersatu dengan Allah dan terlepas dari kewajiban menjalankan syariat Allah [20] sehingga tidak ada yang maujud kecuali Allah. Namun demikian, SM Kartosoewirjo tidaklah sepenuhnya menelan aliran sufi yang ekstrim, sebab terbukti masih mempertahankan syariat (lihat butir ke-3/Laamathluba illallah).

Walau begitu, pengertian Laa mathluba illallah, bukanlah termasuk dari Laa ilaha illallah akan tetapi masuk ke dalam bagian makna rububiyyah (tauhid rububiyyah). Sedangkan Laa maqshuda ilallah, bukan pula masuk ke dalam makna Laa ilah illallah akan tetapi merupakan syarat dan tujuan tauhid ibadah itu sendiri. Oleh karena itu, makna yang benar dari Laa ilaha illallah, adalah Laa ma’buda bihaqqin ilallah, artinya tidak ada ilah yang diibadahi dengan hak melainkan Allah saja. Pembahasan lebih lanjut mengenai Tauhidullah ini, akan dipaparkan saat kita meninjau sistematika tauhid antara ajaran NII dengan madzhab Salaf.

Oleh karena tidak mengikuti manhaj yang hak di dalam mengaji bidang aqidah, yakni akidah itu tauqifiyyah, [21] akan tetapi mengikuti manhaj para filosof, kaum sufi dan mutakallimin/ahli kalam yang menentang Ahlus Sunnah, maka semakin kacaulah di dalam menafsirkan Laa ilaha illallah, seperti yang dimuat dalam manuskrip catatan jihad, buah pena salah seorang generasi jibal (gunung) yakni dalam bahasa orang NII sebagai “orang tua” atau generasi sabiqunal awwalun.(lihat catatan kaki no.1 hal. 57). Tafsir yang kacau tersebut adalah sebagai berikut:

–Selamat pelaksanaan tugasnya terutama sekali dalam bidang :

1. Memegang teguh dan menguatkan Kalimat tauhid (Kalimat Thayyibah), dengan empat kerangka La; dalam makna:

La Mathluba illa-Ilah, dalam makna:

a. Tiada yang dicari dan diusahakan, kecuali Rahmat ridha Allah.
b. Tiada yang dicari dan diusahakan, kecuali pemimpin pembawa amanat Allah.
c. Tiada yang dicari dan diusahakan, kecuali Agama/kerajaanAllah.

La maqshuda illa-llah, dalam makna:

a. Tiada titik tujuan, kecuali Rahmat-Ridha Allah.
b. Tiada titik tujuan, kecuali idzarnya pemimpin pembawa amanat Allah.
c. Tiada titik tujuan, kecuali idzarnya Agama/Kerajaan Allah.

La ma’buda illllah, dalam makna:

a. Tiada yang disembah, kecuali Allah.
b. Tiada yang ditaati dan disetiai, kecuali pemimpin dan pembawa amanat Allah.
c. Tiada yang dijunjung tinggi, kecuali Agama/kerajaan Allah.

La Maujuda ill-Ilah, dalam makna:

a. Tiada yang wujud muthlak, kecuali Allah.
b. Tiada yang diakui wujud/ada, kecuali pemimpin pembawa amanat Allah.
c. Tiada yang diakui wujud/ada, kecuali Agama/Kerajaan Allah. [22]

Sekali lagi, bagaimana pemahaman yang benar atas La ilaha illallah yang dipahami oleh Salafus Shalih (Ahli Sunnah wal Jama’ah), berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dapat dilihat di dalam pembahasan sistematika (penggolongan) tauhidullah. Semoga waspadalah orang-orang yang mau waspada, dan akan tergelincirlah orang-orang yang lalai. dan semoga kita termasuk orang-orang yang meniti jalan Salafus Shalih.

Yakni jalannya para Nabi dan sahabatnya. Mereka para shahabat adalah orang-orang terbaik yang diberi predikat oleh Allah Ridwanullah Alaihim Ajma’in atas keimanan dan ketakwaan mereka. Merekalah yang mencukupkan diri dengan apa yang difirmankan Allah Azza wa Jalla dan yang disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, di dalam ber-dien ini (beraqidah, beribadah; berakhlak, bersyari’ah dan bermu’amalah). Merekalah orang-orang yang mengingkari filsafat dan hukum mutakallimin yang menggunakan standar akalnya untuk menimbang firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Apabila akalnya membenarkan dua wahyu Allah, maka mereka menetapkannya sebagai keyakinan. Sebaliknya, apabila akal mereka tidak memberikan rekomendasi terhadap dua wahyu Allah, maka mereka menolaknya dengan congkak dan sombong.

Menarik apa yang dikatakan Ibnu Khaldun tentang bagaimana menempatkan akal di dalam dien kita ini, “Akal adalah mizan yang benar, maka keputusannya benar tak mengandung kedustaan. Tapi Janganlah kau gunakan ia untuk menimbang masalah tauhid, masalah akhirat, hakikat nubuwah, hakikat sifat-sifat Ilahiyah dan apa yang ada di balik itu, karena hal itu mustahil. Orang yang menggunakan akalnya untuk perkaraperkara seperti ini adalah seperti orang yang melihat timbangan untuk menimbang emas, lalu dengan penuh ketamakan ia menggunakannya untuk menimbang gunung. Ini tidak menunjukkan bahwa timbangannya tidak betul, tetapi akal yang tidak mampu. Dia tidak dapat menjangkau Allah dan sifat-sifat-Nya karena ia (akal, Pen) sebuah dzarrah (atom) dari atom-atom alam ciptaan Allah.” [23]

~ Disalin dari buku ” NII Dalam Timbangan ‘Aqidah “. Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Suroso Abdussalam. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar Cet. Pertama Juli 2000 ~

Sumber: umarabduh.blog.com
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com

Footnote :

[12] A. Firdaus, Op Cit. hlm. 29-31.

[13] Majalah ini merupakan karya Usroh Jakarta sebagai bagian dari NII. Periksalah majalah tersebut pada edisi 17/Thn II-1994, hlm. 37-39.

[14] Catatan jihad (manuskrip), hlm.4-5. Penulisnya, menurut berita yang beredar adalah Abu Suja’ yang kemudian dieksekusi Adah Jaelani Tirtapraja atas fatwa Ajengan Masduki. Ia dibunuh karena tulisannya berbeda dengan yang ditafsirkan oleh penguasa yang sedang eksis (Adah Jaelani sebagai Imam).

[15] Abdurrahman bin shalih Al-Mahmudi. Al-Qadla wa Qadar fi Dhui Al-Kitab wa AsSunnah, (Riyadh, Dar An-Nasyr Ad-Dauli) 1414. hlm. 142.

[16] Jabariyyah adalah suatu ajaran atau keyakinan bahwa Allahlah yang menentukan perbuatan manusia baik buruknya, manusia tidak punya upaya apa-apa. Ajaran ini diyakini oleh firqah Jahmiyah yakni para pengikut Jahm bin Shafyan Abi Mahras As-Samarkandi At-Turmudzi yang dihukum bunuh pada tahun 128 H. Jahm bin Shafwan belajar kepada Ja’d bin Dirham. Ja’d belajar kepada Thalut. Thalut belajar kepada Labib bin Al- ‘Asham, seorangYahudi, maka jadilah mereka semua murid-murid Yahudi. Karena itu, perhatikanlah dari siapa seseorang itu mengambil ilmu? Sedangkan Qadariyah adalah firqah yang berpandangan sebaliknya yang muncul pada akhir masa shahabat. Mereka berkeyakinan bahwa manusia itu sendirilah yang menciptakan perbuatannya, sedangkan Allah tidak menetapkan (qadar) apa-apa. Orang pertama yang membawa paham ini ialah Ma’had Al-Juhani. disebut pula Ghayalan Ad-Dimasyq. Dan ada pula yang mengatakan bahwa pembangun firqah ini adalah Susan An-Nasrani.

[17] Ibnul Qayyim, Syifa Al-’Alil, Dar el Fikr. 1409, Bab 13, h1m.49.

[18] Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki dan Syu’aib Al-Arnauth, Syarah Aqidah AtThahawiyyah, hlm. 639.

[19] Tim Tauhid At-Tauhid Lish-Shaffits Al-’Ali,. terjemahan Agus Hasan Bashari. (Jakarta, Darul Haq), 1419, hlm. 169-171.

[20] Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki. Op Cit, Butir Pembagian Tauhid.

[21] Tauqifiyyah maknanya hanya ditetapkan berdasarkan nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah), lihat Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki (Dasar-dasar aqidah Imam Salaf; Shalih bin Fauzan (At-Tauhid I); Abdullah Azzam (Aqidah landasan Pokok Membina Umat) dan seluruh kitab-kitab tauhdid buah pena para ulama pewaris Nabi (Ulama ahlus sunnah wal Jama’ah) lainnya.

[22] Catatan Jihad, Op Cit. hlm. 4-5.

[23] Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki. Op Cit. Bagian Kaidah Pengajian Masalah Aqidah, butir Membatasi Akal Memikirkan Perkara yang Bukan Bidangnya.


read more

NII DALAM TIMBANGAN (1)

0 komentar

NEGARA ISLAM INDONESIA NII (*)

DALAM TIMBANGAN

(Oleh : Ustadz Abu Hudzaifah Suroso Abdussalam)


Pasal l

Sekilas Tentang NII & Pemikiran Proklamatornya

Negara Islam Indonesia diproklamasikan Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo pada tanggal 12 Syawal 1368 H/ 7 Agustus 1949 merupakan kelanjutan perjuangan yang telah dirintis Sarikat Dagang Islam (SDI) oleh KH Samanhudi (1905) yang dikembangkan menjadi Sarikat Islam (SI) oleh Haji Umar Said Cokroaminoto (1912). Selanjutnya pada tahun 1930 SI diubah namanya menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Semenjak SI dipimpin HOS Cokroaminoto, maksud dan tujuan SI semakinjelas sebagai sebuah organisasi Islam yang merupakan satu-satunya organisasi perjuangan yang menentang penjajah di Indonesia yang berskala nasional. Dan Kartosoewirjo merupakan kader militan Cokroaminoto. Demikian ajaran yang ditanamkan kepada jajaran NII (pimpinan maupun warganya). Ditambahkan pula bahwa satu-satunya kader Cokroaminoto yang tetap konsisiten mengikuti garis perjuangan yang ditetapkan sang guru adalah Kartosoewirjo.[1] Lain halnya Semaun, ia berubah haluan ke kiri, membentuk PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1920. Dan Soekarno pun tak sanggup konsisten, dan akhirnya pada tahun 1927 membentuk PNI (Partai Nasionalis Indonesia).[2]

Di dalam manuskrip A. Firdaus disebutkan pula bahwa Cokroaminoto mengemukakan gagasan untuk membentuk Daulah Islam di dunia (Kholifatullah fil Ardhi).[3] Untuk merealisasikan gagasan itu, beliau membagi tahapan perjuangan sebagai berikut:

a. Kemerdekaan Indonesia (mengusir penjajah dari bumi Indonesia).

b. Kemerdekaan Islam di Indonesia, artinya Islam sebagai satu-satunya sistem yang haq bisa berlaku di Indonesia dengan sempurna dan dilindungi oleh kekuasaan/Negara Islam Indonesia.

c. Kemerdekaan Islam di seluruh dunia, artinya membentuk Khalifah fil Ardhi, yaitu struktur pemerintahan yang memberlakukan hukum Islam sebagai penjabaran dari mulkiyah Allah di bumi.[4]

Sebagai Vice President PSII, Kartosoewirjo diberi kehormatan menyusun “brosur hijrah” (2 jilid) yang merupakan sikap politik PSII. Di dalam brosur tersebut ditegaskan:

Hatta, maka pergerakan PSII, sejak mulai timbulnya hingga pada saat ini, yakinlah dengan sepenuh-penuh keyakinan, bahwa:

1. Hukum yang tertinggi dalam anggapan PSII adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah yang nyata.

2. Tidak ada hukum yang boleh dan dapat berlaku, melainkan setelah ada hakim dan tidak ada hakim yang tidak menjadi bagian daripada sesuatu perikatan kerajaan yang merdeka, dan tidak pula akan boleh pemerintahan itu berdiri, melainkan mesti ada kemerdekaan negeri dan bangsa.

3. Untuk “Akan menjalankan Islam dengan seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya, supaya kita bisa mendapat sesuatu Dunia Islam yang sejati dan bisa menuntut kehidupan yang sesungguhnya.” (Tafsir Asas PSII, cetakan ke-2 hal.4), maka kaum PSII percaya dengan sungguh-sungguh kepercayaan, bahwasanya apabila kaum Muslimin menjalankan perintah-perintah Allah dan Rasulullah dengan sungguh-sungguh tidak boleh tidak mesti akan mendapat kebahagiaan dan keluhuran derajat, sebagaimana yang telah dikaruniakan kepada orang Islam pada zaman dahulu dan bahwasanya tidak boleh tidak mesti mendapat apa-apa yang dijanjikan oleh Allah di dalam AlQur’an.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.” (An-Nuur:55) [5]

Di dalam “Daftar Oesaha Hijrah”, Bab I, Kartosoewirjo membahas struktur masyarakat terbagi menjadi tiga macam berdasarkan hukum dan haluannya dalam susunan dan aturannya dan dalam sikap dan pendiriannya, tetapi hidup bersama-sama dalam satu negeri. Ketiga macam masyarakat tersebut adalah masyarakat Hindia Belanda (sebagai penjajah) yang sedang berkuasa, berikutnya masyarakat Indonesia yang belum memiliki hukum maupun hak dan tidak mempuyai pemerintahan sendiri dan yang ketiga adalah masyarakat Islam atau darul Islam.

Perbedaan masyarakat Indonesia dengan Masyarakat Islam menurut Kartosoewirjo sebagai berikut, “…Masyarakat kebangsaan Indonesia mengarahkan langkah dan sepak terjangnya ke jurusan Indonesia Raya supaya dapat berbakti kepada negeri tumpah darahnya, berbakti kepada ibu Indonesia. Sebaliknya kaum Muslimin yang hidup dalam masyarakat Islam atau Darul Islam, tidaklah mereka ingin berbakti kepada Indonesia atau siapa pun juga melainkan mereka hanya ingin berbakti kepada Allah yang Maha Esa belaka. Maksud tujuannya bukan Indonesia Raya melainkan Darul Islam yang sesempurna-sesempurnanya, tempat tiap-tiap Muslim dan Muslimah dapat menjalankan hukum-hukum agama Allah (Islam) dengan seluas-luasnya, baik yang berhubungan dengan syakhsiyah (pribadi) atau ijtimaiyah (sosial)…”

Di dalam pembahasan selanjutnya, diuraikan bahwa alasan-alasan turunnya harkat dan martabat manusia atau bangsa yaitu “karena membelakangkan dan mendustakan agama Allah. Kemudian program aksi hijrah dibagi dalam bidang politik, sosial, ekonomi, ibadah dan ajaran Islam lainnya. Selanjutnya ditulis, bahwa kalau kita hijrah dari ‘Mekkah Indonesia’ ke ‘Madinah Indonesia’, bukanlah sekali-kali kita harus pindah kampung dan negeri beralih daerah dan wilayah, melainkan hanyalah di dalam sifat, tabi’at, amal, i’tikad dan lain-lain. untuk mencapai Darul Islam yang sempurna, manusia harus melepaskan sifat tabi’ at dan tingkah laku ke-Mekkah-an dan beralih kepada sifat, tabi’at dan tingkah laku ke-Madinah-an” [6]

Untuk mewujudkan gagasan di atas, maka didirikanlah sebuah lembaga pendidikan yang diberi nama Institut suffah.[7] Lembaga ini menjadi modal terwujudnya Darul Islam -Negara Islam Indonesia di kemudian hari. Kartosoewirjo terjun langsung mendidik para siswa dengan metoda pengajaran dan pendidikan yang pernah diterapkan HOS Cokroaminoto yang berarti bahwa para siswa di samping memperoleh pengajaran pengetahuan umum dan pendidikan agama Islam, juga dididik dalam bidang politik.

Ada dua target yang hendak dicapai melalui lembaga pendidikan ini yakni; Pertama, membentuk kader-kader militan (Mujahid) yang kuat aqidahnya dan menguasai ilmu Islam, sehingga akhirnya mampu menggerakkan jihad fi sabilillah untuk menumbangkan dominasi penguasa zalim di dalam rangka menegakkan daulah Islamiyah. Kedua, mengondisikan masyarakat yang Islami, mulai dari pengenalan dan penerapan nilai serta sistem hidup Islami bagi setiap Mujahid/pribadi. Masyarakat Malangbong dan sekitarnya dijadikan basis persemaian kader-kader ini yang nantinya menjadi pusat komando jihad. Sebab jihad merupakan tindakl anjut hijrah. Karenanya hijrah tidak dianggap absah bila tidak diiringi dengan jihad. [8]

Institut Suffah ini disusun menurut sistem pesantren dan madrasah, yang menghasilkan hubungan sangat erat dan akrab antara guru dengan murid. Guru di samping sebagai pendidik dan pengajar, juga berfungsi sebagai suri tauladan bagi para siswanya di dalam menerapkan nilai-nilai Islam di dalam kehidupan sehari-hari; sekaligus sebagai pemirnpin dan pembimbing untuk membawa siswanya ke arah mardhotillah di dunia dan akhirat.

Siswa Institut Suffah ini adalah para pemuda yang berasal dari daerah Priangan, Banten, Wonorejo, Cirebon, Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan. S.M Kartosoewirjo, di samping berperan sebagai pimpinan lembaga pendidikan ini; beliau juga mengajarkan ilmu tauhid/keimanan yang merupakan dasar dan sumber segala aktivitas seorang Muslim. [9]

Berdasarkan gambaran di atas, kita dapat mengetahui bahwa SM Kartosoewirjo dan jajarannya menghendaki agar Umat Islam dapat hidup sesuai dengan hukum Islam di dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk kepentingan hal itu, maka memerlukan adanya Darul Islam/Negara Islam, baik di Indonesia maupun di dunia ini. Dengan terbentuknya Negara Islam Indonesia, maka masyarakat Islam Indonesia akan memperoleh kebahagian di dunia dan akhirat serta mendapat keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kesimpulan di atas pun telah tercantum di dalam Qanun Asasi (UUD) NII yang dibentuk sebelum Proklamasi NII, tepatnya 27 Agustus 1948, yakni:

“Sejak mula pertama Umat Islam berjuang, baik sejak masa kolonial Belanda yang dulu, maupun pada zaman pendudukan Jepang, hingga pada zaman Republik Indonesia, sampai saat ini, selama itu mengandung maksud yang suci, menuju satu arah yang mulia, ialah, “Mencari dan mendapatkan Mardhatillah, yang merupakan hidup di dalam satu ikatan dunia baru, yakni Negara Islam Indonesia yang merdeka.” Dalam masa revolusi yang kedua ini, yang karena sifat dan coraknya merupakan revolusi Islam, ke luar dan ke dalam, maka umat Islam tidak lupa kepada kewajibannya membangun dan menggalang suatu Negara Islam yang merdeka, suatu Kerajaan Allah yang diridhai-Nya di atas dunia, ialah syarat dan tempat untuk mencapai keselamatan tiap-tiap manusia dan seluruh umat, dhahir maupun batin di dunia hingga di akhirat.” [10]

Dengan demikian, jelaslah sudah bagi kita, bahwa Kartosoewirjo memiliki pemikiran dan obsesi yakni keselamatan dunia dan akhirat bagi kaum Muslimin adalah apabila mereka dapat mewujudkan tegaknya Negara Islam Indonesia (kekhalifahan di dunia ini) bagi masyarakat Muslim sedunia. Dengan NII, maka hukum Islam dapat ditegakkan. NII bagi Kartosoewirjo dan jajarannya dipandang sebagai tujuan perjuangan umat Islam. Hampir di setiap tulisan Kartosoewirjo, lihat kembali catatan kaki halaman 44 dan 49, di atas pemikiran dan obsesinya untuk tegaknya Negara Islam di Indonesia sebagai suatu tujuan perjuangan umat Islam, selalu mendapatkan penekanan. Hal itu dapat dilihat pula di dalam butir 10 Maklumat Imam yakni:

Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyertai perjuangan kita menuju Darul Islam dan Darus Salam itu dengan Taufik dan Hidayah-Nya, dengan kekuatan dan pertolongan-Nya, hingga terlaksana berdirinya Kerajaan Allah di permukaan bumi Indonesia.[11]

Di dalam ruang lingkup Dienul Islam, kita memahami bahwa persoalan siyasah (perpolitikan) yang di dalamnya berbicara tentang pemerintahan Islam ataupun tentang Daulah Islamiyah merupakan persoalan penting. Oleh karena itu umat Islam tidak boleh mengabaikannya. Walau demikian, kita pun menyadari bahwa hal itu (siyasah) bukanlah persoalan aqaid (akidah), sehingga penulis tidak akan membahasnya di dalam buku (tulisan ini). Akan tetapi, akan penulis kupas tentang pemikiran dan obsesi Kartosoewirjo dan NII-nya di dalam bahasan NII dalam tinjauan siyasah syar’iyah, insya Allah. Namun demikian, sekedar untuk perenungan pembaca, maka penulis sodorkan beberapa kalimat berikut ini:

Sesungguhnya misi para anbiya wal mursalin dari awal risalah hingga akhirnya adalah di dalam rangka bertauhid kepada AllahAzza wa Jalla dan meninggalkan syirik. Itulah tujuan yang sangat mulia nan agung. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (Al-Anbiya:25)

Juga firman-Nya, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu’… ” (QS. An-Nahl:36)

Demikian juga firman-Nya,

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi). Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”. (Az-Zumar: 65-66).

Berdasarkan ayat di atas, kita mengetahui bahwa tujuan dien kita yang hakiki, tujuan diciptakannya jin dan manusia, tujuan diutusnya para rasul dan tujuan diturunkannya Kitabullah tidak ada lain melainkan untuk beribadah kepada Allah dan mengikhlaskan dien ini hanya untuknya. sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla berikut ini:

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-KU.” (Adz-Dzariyat:56)

Sekali lagi di sini bukanlah tempatnya kita membicarakan tentang siyasah yang menjadi tujuan da’wah HOS Cokroaminoto dan SM Kartosoewirjo seperti uraian di atas, yang dimaksudkan keduanya untuk memerangi kekufuran; kesyirikan dan kezindikan (atheis) dari orang-orang Belanda si penjajah laknatullah; dari orang-orang penyembah batu, pohon, kuburan, keris dan penyembah-penyembah syetan yang bertebaran di dalam masyarakat sejak zaman penjajahan Belanda, Jepang maupun di zaman republik; ataupun dari orang-orang atheis seperti orang-orang komunis yang telah berani unjuk gigi di Madiun tahun 1948 dan 1965 secara nasional serta berhasil menyusup lewat SI, seperti yang dilakukan Semaun. Oleh karena itu, harap maklum.

~ Disalin dari buku ” NII Dalam Timbangan ‘Aqidah “. Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Suroso Abdussalam. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar Cet. Pertama Juli 2000 ~

Sumber: umarabduh.blog.com
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com

Footnote :

[*Pembicaraan tentang NII di dalam buku kecil ini, tidak dimaksudkan untuk meninjau tentang sejarahnya. Akan tetapi, penulis meninjau NII dari sisi aqidah, sehingga untuk kepentingan hal ini dicukupkan pembahasan singkat di dalam satu pasal tentang sekilas mengenal NII dan pemikiran proklamatornya. Adapun pembahasan sejarah NII dan pendirian proklamatornya menurut versi NIl yang penulis terima/kaji dari materi SPUI (Sejarah Perjuangan Umat Islam/sejarah NII) dan telah penulis susun sewaktu masih aktif menjadi aktivis NII, insya Allah akan diupayakan untuk diterbitkan, dalam buku tersendiri.]

[1] A. Firdaus, Manuskrip Pergerakan Islam di Indonesia.

[2] Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosoewirjo “Angan-angan yang gagal” (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), 1995, hlm. l6. Akan tetapi di dalam buku ini tidak disebutkan bahwa mereka bertiga adalah murid/kader Cokroaminoto, dan Kartosoewirjo-lah yang konsisten dan pelanjut misi sang guru.

[3] Kalimat ini salah; khalifatullah artinya wakil/pengganti Allah. Sedangkan Allah tidak memiliki wakil/pengganti di bumi ini. Maha Suci Allah dari yang demikian ini. Adapun yang benar adalah khilafah `Ala Min Hajin Nubuwah sebagai naungan Allah di muka bumi.

[4] A. Firdaus, Op Cit. hlm.2.

[5] SM Kartosoewirjo, brosur Sikap Hijrah PSII, jilid I. 1936, hlm. 31-32.

[6] SM Kartosoewirjo, Daftar Oesaha Hijrah PSII (Malangbong, Pustaka Darul Islam). 1948, hlm 2.

Perhatikan bagaimana SM. Kartosoewijo membuat istilah yang rancu dan tidak mengikuti nash. Sepanjang ajaran Islam tidak dikenal adanya pembagian tingkah laku ke-mekahan dan ke-madinahan. Kalimat ini menjadi pangkal/dasar bagi NII bahwa kaum Muslimin yang belum ‘berhijrah’ ke NII dianggap masih orang ‘Mekkah’, sedangkan orang NII dianggap sebagai orang ‘Madinah’. Sehingga tingkah laku ke-mekahan disejajarkan dengan kekufuran dan hal itu adanya di negara thagut (negara kafir seperti RI). Sedangkan tingkah laku ke-madinah-an disejajarkan dengan keimanan dan hal itu adanya di negara Islam, tegasnya NII. Yang benar, sepanjang ajaran Islam bahwa manusia memiliki akhlak yang baik (karimah) dan buruk (syayi’ah). Di dalam Negara Islam pun, masyarakatnya tentu saja akan terlihat dengan kedua akhlak tersebut, karena manusia itu tidak ma’shum. Hanya saja, akhlak yang buruk, sangat sedikit dilakukan di dalam masyarakat yang telah bertaqwa.

[7] Kalimat ini menunjukkan adanya pengaruh sufi. Ditambah pula bahwa Rasululah mendidik para sahabat di masjid setelah ke Madinah. Dan para sahabat tetap pulang kembali ke rumah masing-masing. Jadi, jika dikatakan bahwa Institut Suffah merupakan bentuk mencontoh cara Rasulullah mendidik para sahabat (sebagaimana dijelaskan SM Kartosdewirjo di dalam Brosur Hijrah), maka hal itu merupakan prasangka belaka, tanpa ilmu.

[8] Ini kalimat rancu dan keliru, tidak sesuai dengan ajaran Islam. Jihad yang dimaksud di sini hanya merupakan konsekuensi dari hijrah. Sedang hijrah yang dimaksud NII adalah apabila telah berpindah/bergabung kepadanya. Sehingga bagi kaum Muslimin yang belum bergabung dengan NII dianggap belum hijrah (belum Islam dan beriman) dan hal itu berarti belum berjihad. Sebab untuk berjihad membutuhkan tempat/wadah yaitu NII. Inilah logika/akal-akalan NII di dalam memahami ajaran Islam. Yang benar adalah dimanapun kaum Muslimin berada harus senantiasa berjihad sesuai dengan kesanggupan maksimal yang dapat mereka lakukan, sesuai dengan ketentuan syariat Islam, bukan ketentuan akal-akalan. Dan jihad yang besar untuk saat ini bagi kaum Muslimin, seperti perkataan Syaikh Albani adalah berjihad dengan berusaha sekuat kemampuan untuk rujuk kepada Dien kaum Muslimin. Sebab terpuruknya kaum Muslimin saat ini, karena mereka meninggalkan dien mereka, jauh dari sunnah Rasulullah dan para sahabatnya, lihat kembali Bab II.

[9] A. Firdaus, Op Cit, hlm. 29-31.

[10] Qanun Asasi NII, Muqadimah, ditetapkan di Galunggung 22 Syawal 1367/27 Agustus 1948.

[11] Pedoman Dharma Bakti Menggalang Negara Kurnia Allah Negara Islam Indonesia Maklumat Imam No. 6 Butir 10, tertanggal 20 safar 1368/21 Desember 1948.


read more

Selasa, 03 Mei 2011

NII DALAM TIMBANGAN AQIDAH ISLAM

Selasa, 03 Mei 2011
0 komentar

"NII DALAM TIMBANGAN AQIDAH ISLAM"
(Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)

Silahkan Download Kajiannya Pada Link Berikut

Selamat Mendengarkan

Atau download dalam format mp3.zip

Disini


N.I.I adalah ahlul bid’ah dari firqah yang sesat dan menyesatkan. Mereka ini telah pecah menjadi berfirqah-firqah, salah satunya adalah Pesantren Al-Zaytun yang ada di Indramayu yang di ketuai oleh Abu Toto

Di antara bid’ah-bid’ah N.I.I ialah:

1. Aqidah mereka yang sagat rusak sekali, sebagaimana di jelaskan oleh saudara kami Ustadz Suroso Abdussalam seorang mantan tokoh N.I.I di kitabnya ” N.I.I Dalam Timbangan Aqidah “. (1)

2. Kejahilan mereka dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah.

3. Tidak adanya ilmu diantara mereka, kecuali kebodohan yang telah ada di antara mereka yang diawali oleh pendirinya dan seterusnya hari ini terhadap ilmu agama. Oleh karena itu -dengan izin Allah- tidak sedikit di antara mereka yang keluar dari firqah sesat ini dan kembali kedalam ajaran Islam yang shahih yang di bawa oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam menurut pemahaman para Shahabat.

4. Mereka mendirikan khilafah palsu dan mewajibkan kaum muslimin membai’at khalifah dan imamnya.

Bid’ahnya Ajaran-ajaran Bai’at (2)

Yakni, yang mewajibkan kaum muslimin berbai’at kepada khalifah-khalifah palsu dari mereka. Ajaran bai’at ini tidak syak lagi tentang bid’ahnya dan kejahilannya meskipun mereka menurunkan sejumlah hadits shahih di Bukhari dan Muslim. Akan tetapi mereka telah tersesat di dalam memahami hadits tanpa perantara ahli ilmu.

Karena yang dimaksud dengan bai’at dan membai’at seseorang ialah hanya kepada khalifah yang sah dari Quraisy untuk seluruh kaum muslimin dan apabila telah tegak daulah Islamiyyah.

Kalau hadits-hadits bai’at kita fahami sebagaimana pemahaman yang sesat dari kaum bai’at bersama khalifah atau imam palsu dan bayangan dari mereka, niscaya kapan saja dan siapa saja dapat dibai’at yang kemudian di angkat menjadi imam atau khalifah. Kalau demikian, alangkah banyaknya jumlah khalifah di dunia ini.

Oleh karena itu berdasarkan nash Al-Qur’an dan Sunnah bersama perjalanan para Shahabat, mengikuti ajaran bai’at adalah bid’ah dan kesesatan. Sebaliknya, meninggalkan ajaran bai’at berarti kita telah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.

5. Mereka membuat kelompok (firqah) dan memisahkan diri dari kaum muslimin, kecuali yang masuk ke dalam firqah mereka.

6. Bahkan sebagian dari firqah mereka telah meninggalkan shalat dan lain-lain ibadah atau kewajiban di dalam Islam dengan alasan masih berada di periode Makkah.

Disalin dari buku ” Risalah Bid’ah “ hal. 312-313 Oleh guru kami Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat ~semoga Allah menjaganya~ Penerbit: Pustaka Abdullah, Jakarta. (dengan sedikit edit kata dari admin)

Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com

Footnote:

(1). Bacalah kalau engkau mau kitab ” N.I.I Dalam Timbangan Aqidah ” oleh saudara kami Ustadz Suroso Abdussalam, mantan pengajar N.I.I
(2). Disalin dari kitab yang sama pada hal. 316 poin 522. Bid’ahnya ajaran-ajaran bai’at (admin)


read more

BUKTI-BUKTI KESESATAN NII

0 komentar

Bangunan Megah di Pesantren Al-Zaytun
Indramayu


BUKTI-BUKTI KESESATAN NII

NEGARA ISLAM INDONESIA


Bukti-Bukti Kesesatan NII KW IX Abu Toto

Sepak terjang NII KW IX (Negara Islam Indonesia Komandan Wilayah IX), dalam kurun waktu di bawah kepemimpinan Haji Abdul Karim dan kemudian Haji Muhammad Ra’is dari tahun 1984 s/d 1992 maupun di bawah kepemimpinan Abu Toto Asy-Syaikh AS Panji Gumilang (gelar kebesarannya saat ini) sejak dari tahun 1992 hingga tahun 2001 telah menimbulkan banyak korban. Secara nyata yang lebih banyak dirugikan baik moril maupun material oleh KW IX sejak masa Haji Karim sampai Abu Toto adalah umat islam pada umumnya, dan secara khusus kalangan NII atau DI (Darul Islam).

Kerugian yang diderita ummat Islam secara moril adalah telah tercemarinya pemikiran dan pemahaman mereka tentang Islam, sehingga mereka sama sekali tidak menyadari dan tanpa terasa telah terjerumus pada suatu keyakinan yang menjungkir-balikkan prinsip-prinsip keimanan (aqidah) yang untuk selanjutnya berdampak pada pelecehan terhadap syari’at serta bermuara pada kemerosotan akhlak.

Suatu tindakan pemurtadan sekaligus penindasan dan pemiskinan telah berlangsung terhadap umat Islam Indonesia yang dilakukan oleh KW IX di Indramayu Jawa Barat, Gerakan sesat yang mengatasnamakan NII di balik pesantren mewah Al-Zaytun. Suatu tindak kejahatan politik, sosial dan pelanggaran HAM yang sangat serius yang mungkin belum pernah dilakukan oleh kelompok sempalan maupun yang ada dalam masyarakat dan bangsa Indonesia.

Penyimpangan ‘Aqidah

Kezhaliman yang paling dahsyat yang dilancarkan oleh KW IX baik pada masa kepemimpinan Haji Abdul Karim, Haji Ra’is maupun kepemimpinan Abu Toto adalah menciptakan syirik. Berdasarkan data-data yang telah tertuang di atas dan beberapa kesaksian dan laporan para mantan peagikut Abu Toto, maka syirik yang diciptakan NII KW IX dalam kurun 1984-5 s/d 2001 sekarang adalah menyusun sistematika tauhid secara serampangan, dengan membaginya ke dalam 3 substansi tauhid, yaitu: Tauhid Rububiyah, Tauhid Mulkiyyah dan Tauhid Uluhiyyah tanpa dasar disiplin ilmu sedikit pun.

Pertama, mereka mengumpamakan Tauhid Rububiyah dengan akar kayu, Mulkiyyah adalah batang kayu, Uluhiyyah adalah buahnya. Selain itu mereka juga menafsirkan Rububiyah dengan undang-undang, Mulkiyyah adalah negara, dan Uluhiyah adalah ummatnya. (1)

Tafsiran semacam itu sungguh sangat menyesatkan, karena telah merendahkan, menghina Allah, dan telah menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.

Kedua, mereka juga meyakini kerasulan dan kenabian itu tidak akan berakhir selama masih ada orang yang menyampaikan da’wah Islam kepada manusia. Kesimpulan mereka, bahwa setiap orang yang menyampaikan da’wah Islam pada hakikatnya adalah Rasul Allah.

Ketiga, menciptakan ajaran dan keyakinan tentang adanya otoritas nubuwwah pada diri dan kelompok mereka dalam menerima, memahami dan menjelaskan serta melaksanakan maupun dalam memperjuangkan AI-Qur’an dan Sunnah Rasulullah hingga tegaknya syari’ah dan kekhalifahan di muka bumi, Dengan menetapkan doktrin tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah secara serampangan serta sangat menyesatkan antara lain:

  • Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam untuk menata dunia secara baik dan benar menurut yang dikehendaki dan ditetapkan Allah. Dengan demikian Al-Qur’an juga sebagai Undang-undang, Hukum dan Tuntunan yang harus diterima dan dilaksanakan manusia. Namun dalam prakteknya bagaimana mereka mensikapi, memperlakukan ataupun dalam memahami AI-Qur’an maka itu terserah manusia, yakni bebas melakukan ta’wil maupun tafsir baik terhadap ayat yang muhkamat maupun yang mutasyabihat. (2)
  • As-Sunnah adalah perilaku Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam dalam melaksanakan Al-Qur’an yang ternyata mengikuti milah (ajaran) dan tata cara pengabdian Nabi lbrahim Alaihissalam. Selain itu Nabi Muhammad juga diyakini sebagai kader Nabi Isa bin Maryam yang dididik dan dibina oleh kaum Hawariy yang nota bene pengikut setia Nabi Isa Alaihissalam atau hasil transformasi ajaran Nabi Isa Alaihissalam. (3)

Keempat, Menggunakan nama-nama Nabi untuk hirarki kepangkatan (jabatan struktural dan fungsional), sehingga menimbulkan kesan bahwa Nabi yang satu bisa diperintah oleh Nabi lainnya yang berada pada struktur lebih tinggi.

Kelima, Melakukan tipu daya kepada pengikutnya dengan memberikan iming-iming pangkat maupun jabatan serta futuh (kemenangan) terhadap penguasa Rl, dan meyakinkan melalui doktrin bahwa secara diam-diam sekitar 50% dan kekuatan TNI-PoIri (ABRI) telah berpihak kepada NII sehingga pasti menang, yang dalam istilah mereka menunjuk kepada sebuah ayat yang berbunyi: Nashrun minallahi wa fathum qariib.

Penyimpangan Syari’ah

Merubah Syari’at Zakat Fithri dan Syari’at Qurban

Dalam majalah bulanan Al-Zaytun terbitan Ma’had Al-Zaytun dinyatakan,

” Pada kesempatan ‘led Al Fithri kali yang pertama di awal Januari tahun 2000, Ma’had AI Zaytun, telah mengawali langkah yang tepat sekaligus berani, untuk mengelola sumber dana dalam Islam, yakni dengan mengaktualkan nilai zakat fithrah, ini dilakukan bukan untuk mencari sensasi, tapi semata-mata untuk meningkatkan kualitas ummat. Zakat fithrah tidak lagi dihargai dengan 3,5 liter beras. Karena dosa setahun sudah tidak wajar lagi dibersihkan dengan 3,5 liter beras, dan sangat ironis jika hanya dengan 3,5 liter beras kita bercita-cita untuk mensejahterakan ummat. (4)

“Alhamdulillah, seluruh civitas Ma’had Al Zaytun menyambut langkah ini dengan antusias, termasuk para santri, dan wali santri pun menyambut dengan baik dan penuh kefahaman. Sehingga pada kesempatan ‘led itu, dari santri saja terkumpul dana zakat fithrah hampir mencapai 100 juta rupiah (hanya dari 1235 muzakki, kalau dibuat rata-rata masing-masing santri membayar zakat fithrah, kurang lebih sebesar 75 ribu rupiah) untuk itu kita layak berdo’a: “Taqabbalallahu minna waminkum”

“Pada pertengahan Maret tahun 2000 ini kita bertemu dengan ‘led al Adha, dimana ummat Islam diperintahkan untuk berqurban. Kalau pada ‘led Al Fithri kita bisa melakukan suatu harakah yang bermutu, maka pada ‘led Al adlha inipun kita harus melakukan hal yang sama, bahkan harus lebih hebat lagi.

“Pada ‘led Al Fithri (hari kembali fithrahnya manusia) itu telah mengajak Ummat untuk berzakat fithrah dengan harakat ramadhan-nya. Maka pada ‘led Al Adha (hari berqurbannya manusia) tata mengajak ummat untuk berqurban, mengurbankan sesuatu yang dicintainya dan mendekatkan diri kepada Allah.

Pengertian Berqurban (menurut Al-Zaytun)

“Menurut bahasa (lughawi) kata qurban berasal dari kata qarraba yang berarti “dekat”, sedangkan dalam kamus AI-Munjid hal 617 kata qurban diartikan sebagai berikut : “apa-apa yang bisa mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menyembelih atau dengan yang lainnya.”

Jadi, namanya berqurban itu tidak selamanya dengan menyembelih hewan, menyembelih hewan hanyalah sekedar lambang dari pengorbanan.

Manfaat zakat dan qurban ditinjau dari aspek sosial adalah untuk memberi makan fakir dan miskin. Memberi makan dalam arti luas adalah bukan hanya memberi makan pada jasmani (perut) tetapi termasuk juga di dalamnya memberi makan kepada rohani (akal dan bashirah). Makaman otak manusia, bukanlah daging kambing, tapi makanan otak manusia adalah ilmu.

Ilmu secara formal bisa didapat lewat pendidikan, maka jika qurban dikeluarkan dalam bentuk uang (misalnya) dan uang yang terkumpul digunakan untuk membangun sarana pendidikan, gedung pembelajaran, asrama, masjid perpustakaan, laboratorium dan kelengkapan lain yang menunjang pendidikan, itu berarti qurban yang kita keluarkan akan lebih abadi (pahala/manfaatnya) bagi Islam dan ummatnya.

Dengan pendidikan kita bisa mendapatkan generasi Islam yang berotak jernih (brilian) dan sekaligus memiliki bashiroh yang tajam. Dengan cara ini qurban jadi lebih, aktual, efektif dan efisien…dst

Yang kemudian pada akhir tulisan tersebut antara lain:

“…Inilah arti berqurban secara luas (arti yang sebenarnya) bukan arti secara sempit, yang hanya mengandalakan berkorban dengan menyembelih hewan saja, hanya berorientasi kepada kebutuhan jasmani (perut) saja. Inilah paradigma berqurban yang optimis dan berwawasan masa depan, bukan pandangan berkorban secara sempit yang hanya memikirkan gegembiraan fakir miskin di hari raya saja, tetapi pandangan jauh ke depan memikirkan nasib ummat seratus bahkan seribu tahun yang akan datang. (5)

Sikap dan pandangan serta praktek zakat fithrah yang menyimpang sebagaimana diatas yang diterapkan pada para santri Al-Zaytun, toh tetap berjalan dan bahkan malah semakin parah pada Ramadhan tahun 2000 ini. Sebagaimana yang dilansir media antara lain,

“Sumber dana lain yang bakal dipergunakan untuk pengembangan pesantren antara lain zakat fithrah. Zakat yang lazim ditunaikan ummat Islam menjelang ‘ledul Fithri. Selain itu, pimpinan Ma’had Al-Zaytun sempat mengumumkan kepada 3200 santri tentang jumlah pembayar zakat fithrah terbesar yang dilakukan seorang santri dari Nusa Tenggara Timur sebesar Rp. 1 juta, pembayar zakat fithrah terbesar kedua diraih oleh santri asal Gorontalo senilai Rp 500 ribu, demikianj juga diumumkan pembayar zakat fithrah terkecill sebesar Rp 10 ribu “. (6)

Sedangkan menurut pemberitaan majalah Al Zaytun sendiri malah menggambarkan keberhasilan yang fantastis dari gerakan Ramadhan yang mampu menghasilkan pemasukan uang sebanyak 5 miliar rupiah lebih. (7)

Eksploitasi (pemerasan) maupun eksplorasi (penggalian dana) dan program pemiskiinan ummat Islam (korban jeratan rekruitmen) dengan mengatas-namakan Zakat Tazkiyah Baitiyah, Shadaqah Tathawwu’, Infaq Sabilillah, Khijanah tajwidiyah, Qiradl, Shadaqah (Ja-uka dan isti’dzan, Nikah, tahkim, Musyahadah dan Tartib) maupun Kaffarat dan lain sebagainya telah mencerminkan adanya motif manipulasi/penipuan yang sangat merugikan dan meresahkan umat serta merusak ajaran Islam.

Diantara para korban, ada yang terkena jerat program Qiradh dan lddikhar (tabungan), sampai sebanyak 250 gram emas, bahkan salah seorang pejabat Bank Indonesia (sekarang mantan) sampai rela menyerahkan 2,5 kg emas. Dan dua orang putranya pun, sempat pula menjadi perampok, yang untuk itu mereka harus merelakan tulang iganya putus lantaran demi untuk menyelamatkan diri dari kejaran masa, hanya kareana mengejar target setoran yang harus di bayarkan kepada jama’ah–Negara.

Pemerasan

Kalkulasi di bawah berdasarkan perkiraan jumlah minimal yang konstan dan aktif sebagai anggota NII KW IX dari tahun 1993 s/d tahun 2000 sebanyak 60.000 orang, sekalipun banyak keterangan dari mantan NII KW IX yang menyatakan bahwa jumlah anggotanya sekarang lebih dari 100.000 orang, namun diperkirakan terjadi banyak pula yang keluar ataupun yang masuk.

Dana umat yang disedot oleh NII struktural adalah (Satu Triliyun Empat Ratus Satu Milyar Dua Ratus Juta Rupiah) yang kemudian diwujudkan dalam bentuk bangunan mewah Ma’had Al Zaytun, yang konon biayanya menelan angka sampai hitungan sekitar 4 trilyun rupiah. Maka kekurangan dari jumlah keseluruhan yang dibutuhkan oleh Al-Zaytun masih banyak.

Menurut penuturan salah seorang mantan pengikut Abu Toto yang sempat dipercayakan memegang posisi Majelis Hai’ah (semacam departemen keuangan), Pak Andreas (Ismail Subardja), dana abadi yang berhasil dikumpulkan oleh KW IX hingga akhir tahun 1996 saja sudah mencapai 40 miliar rupiah. Dan seluruh dana yang ada dalam KW IX dimasukkan dalam rekening Bank ClC atas nama Abu Ma’ariq alias Abu Toto Abdus Salam (AS Panji Gumilang) dan keluarganya. (8)

~ Disalin secara utuh dari buku ” Aliran dan Paham Sesat di Indonesia “ dari hal. 45-50. Oleh: Al-Ustadz Hartono Ahmad Jaiz. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar ~

Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com

Footnote:


(1). Majalah Al-Zaytun no.11 Th.2000 hlm. 31

(2). Mabadiuts Tsalatsah, karya Abdul Karim Hasan (Buku Pedoman NII)

(3). Wawancara dengan Imam Shalahuddin (Mantan NII KW IX), tgl 22 Desember 2000. Baca juga MBM Al-Zaytun 6-7 Th. 2000 hlm. 99

(4). Ditulis oleh Guru MAZ dalam MB Al-Zaytun, edisi III Maret Th.2000 hal. 10-11

(5). Ibid

(6). Pos Kota, edisi 23 Desember 2000 hal.8 dan sebagaimana yang dimuat dalam MB Al-Zaytun, edisi 12-2000

(7). MB Al-Zaytun, edisi 12-2000 hal.13

(8). Wawancara UA dengan Bpk. Andreas, 10 Desember 2000.


read more

WASPADA BAHAYA LATEN NII

0 komentar
WASPADA BAHAYA LATEN NII

Mengenal Ciri-Ciri Gerakan NII



Sekarang media massa hingar bingar dengan peristiwa yang dialami anak-anak muda yang “hilang”, dan kemudian diketemukan dalam keadaan seperti “linglung”, serta menurut pengakuan mereka, mereka mengalami pencucian otak. Benarkah mereka yang “hilang” itu menjadi korban dari proses cuci otak yang dilakukan oleh NII?

Berbagai kajian yang pernah diterbitkan media massa Islam, menilai ada NII yang menyimpang jauh dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, dan disebut-sebut memiliki kaitan erat dengan "Pondok Pesantren Al-Zaytun" Indramayu, Jawa Barat.

Pondok pesantren modern ini berdiri pada akhir tahun 1990-an, dan diresmikan oleh Presiden RI B.J. Habibie. Pondok Pesantren yang dipimpin oleh Abu Toto alias Syeikh Panji Gumilang itu, bukan hanya diresmikan oleh Presiden BJ Habibie semata, tetapi sejumlah tokoh penting pernah berkunjung dan memberikan bantuan kepada Pesantren Az-Zaytun, konon termasuk diantaranya sejumlah tokoh penting militer dan intelijen, dan bahkan diisukan mendapat suntikan dana dari Pemerintah Kerajaan Inggris.

Sampai sekarang media massa meributkan tentang NII dan dikaitkan dengan Az-Zaytun, tetapi tidak pernah ada tindakan apapun terhadap pesantren dan pengasuhnya. Seakan Pesantren itu kebal dari aparat dan hukum. Sementara itu, orang-orang yang mempunyai kaitan dengan NII, banyak yang kemudian menjadi tersangka atau dipenjara dalam waktu tertentu. Entah dituduh sebagai teroris atau melakukan gerakan yang dianggap menjadi ancaman keamanan negara.

Berbagai media massa Islam menampilkan hasil-hasil penelitian, analisis para pakar, hingga kesaksian para mantan santri pesantren tersebut sebagai bukti “kesesatan” Al-Zaytun dengan NII “jadi-jadiannya”.

Banyak yang mengatakan bahwa yang muncul ke permukaan yang menjadi fenomena sekarang ini, dan berlanjut menjadi sebuah permasalahan pelik, merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk menghancurkan umat Islam di Indonesia. Seandainya, argumentasi ini benar, wajar bagi umat Islam untuk menjadikan pihak-pihak yang terkait dengan gerakan tersebut sebagai ancaman serius yang selalu harus diwaspadai.

Sebuah media menyebutkan ciri-ciri kelompok bawah tanah yang mengatasnamakan NII tersebut.

Berikut ini adalah sebagian ciri-cirinya:

1. Dalam mendakwahi calonnya, mata sang calon ditutup rapat, dan baru akan dibuka ketika mereka sampai ke tempat tujuan.

2. Para calon yang akan mereka dakwahi rata-rata memiliki ilmu keagamaan yang relatif rendah, bahkan dapat dibilang tidak memiliki ilmu agama. Sehingga, para calon dengan mudah dijejali omongan-omongan yang menurut mereka adalah omongan tentang Dinul Islam. Padahal, kebanyakan akal merekalah yang berbicara, dan bukan Dinul Islam yang mereka ungkapkan.

3. Calon utama mereka adalah orang-orang yang memiliki harta yang berlebihan, atau yang orang tuanya berharta lebih, anak-anak orang kaya yang jauh dari keagamaan, sehingga yang terjadi adalah penyedotan uang para calon dengan dalih demi dakwah Islam. Tetapi semua itu, hanya sebagai alat (sarana) untuk menyedot uang.

4. Pola dakwah yang relatif singkat, hanya kurang lebih tiga kali pertemuan, setelah itu, sang calon dimasukkan ke dalam keanggotaan mereka. Sehingga, yang terkesan adalah pemaksaan ideologi, bukan lagi keikhlasan. Dan, rata-rata, para calon memiliki kadar keagamaan yang sangat rendah. Selama hari terakhir pendakwahan, sang calon dipaksa dengan dijejali ayat-ayat yang mereka terjemahkan seenaknya, hingga sang calon mengatakan siap dibai’at.

5. Ketika sang calon akan dibai’at, dia harus menyerahkan uang yang mereka namakan dengan uang penyucian jiwa. Besar uang yang harus diberikan adalah Rp 250.000 ke atas. Jika sang calon tidak mampu saat itu, maka infaq itu menjadi hutang sang calon yang wajib dibayar.

6. Tidak mewajibkan menutup aurat bagi anggota wanitanya dengan alasan kahfi.

7. Tidak mewajibkan shalat lima waktu bagi para anggotanya dengan alasan belum futuh (masih fatrah Makkah). Padahal, mereka mengaku telah berada dalam Madinah. Seandainya mereka tahu bahwa selama di Madinah-lah justru Rasulullah benar-benar menerapkan syari’at Islam.

8. Sholat lima waktu mereka ibaratkan dengan doa dan dakwah. Sehingga, jika mereka sedang berdakwah, maka saat itulah mereka anggap sedang mendirikan shalat.

9. Shalat Jum’at diibaratkan dengan rapat/syuro. Sehingga, pada saat mereka rapat, maka saat itu pula mereka anggap sedang mendirikan shalat Jum’at.

10. Untuk pemula, mereka diperbolehkan shalat yang dilaksanakan dalam satu waktu untuk lima waktu shalat.

11. Infaq yang dipaksakan per periode (per-bulan), sehingga menjadi hutang yang wajib dibayar bagi yang tidak mampu berinfaq.

12. Adanya qiradh (uang yang dikeluarkan untuk dijadikan modal usaha) yang diwajibkan walaupun anggota tak memiliki uang, bila perlu berhutang kepada kelompoknya. Pembagian bagi hasil dari qiradh yang mereka janjikan tak kunjung datang. Jika diminta tentang pembagian hasil bagi itu, mereka menjawabnya dengan ayat Al Qur’an sedemikian rupa sehingga upaya meminta bagi hasil itu menjadi hilang.

13. Zakat yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Takaran yang terlalu melebihi dari yang semestinya. Mereka menyejajarkan sang calon dengan sahabat Abu Bakar dengan menafikan syari’at yang sesungguhnya.

14. Tidak adanya mustahik di kalangan mereka, sehingga bagi mereka yang tak mampu makan sekalipun, wajib membayar zakat/infaq yang besarnya sebanding dengan dana untuk makan sebulan. Bahkan, mereka masih saja memaksa pengikutnya untuk mengeluarkan ‘infaq’. Padahal, pengikutnya itu dalam keadaan kelaparan.

15. Belum berlakunya syari’at Islam di kalangan mereka, sehingga perbuatan apapun tidak mendapatkan hukuman.

16. Mengkafirkan orang yang berada di luar kelompoknya, bahkan menganggap halal berzina dengan orang di luar kelompoknya.

17. Manghalalkan mencuri/mengambil barang milik orang lain.

18. Menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, seperti menipu/berbohong, meskipun kepada orang tua sendiri.

Sebuah fenoma seperti puncak gunung es, yang sekarang ini terus berkembang di tengah-tengah masyarakat, dan mempunyai dampak luas dalam kehidupan umat Islam. Dengan stigma yang sangat menganggu, setiap peristiwa yang dikaitkan dengn NII akan selalu berdampak negatif.

Cobalah dipahami dan dipikirkan 18 ciri yang merupakan “methode” gerakan NII, yang akhir-akhir mendapatkan perhatian luas masyarakat. (mh)

Sumber: Eramuslim.com, Selasa, 26/04/2011 15:05 WIB

Cara NII mencari mangsa

Biasanya, calon korban yang diincar NII gadungan itu orang cerdas dan memiliki harta. Kalau NII sempalan hanya memburu korban yang diketahui banyak duit.

Selanjutnya, inilah pengakuan mantan pelakunya yang diberitakan detikbandung:

Ini Dia Ciri Pelaku Cuci Otak NII Sempalan dan Gadungan

Bandung – Mantan aktivis kelompok Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9 (NII KW 9), Adnan Fahrullah (40), mengatakan gerak-gerik dan ciri NII gadungan dan sempalan mudah dikenali. Pola kerja pelaku mengicar korban nyaris serupa.

“NII gadungan itu lebih mengutamakan pria yang bertugas pencuci otak. Sementara NII sempalan mengandalkan kaum wanita,” ujar Adnan saat ditemui di salah satu kawasan di Kota Bandung, Kamis (21/4/2011).

Pelaku cuci otak, kata Adnan, relatif berusia produktif. Bahkan, NII gadungan mempunyai pencuci otak yang masih remaja. “Baik NII gadungan dan sempalan, setiap mencari calon korban biasanya bergerak dua orang. Jarang yang melakukan sendirian,” ujar bekas pelaku pencuci otak yang merekrut ribuan orang hijrah ke NII KW 9 di Jawa Barat ini.

Lebih lanjut Adnan menambahkan, tidak ada style atau busana khusus yang diapakai oleh pelaku cuci otak. Pelaku mendekati calon korban serta meminta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Pelaku pun tidak pernah memberikan identitas lengkap dan jelas.

“Pencuci otak itu bertukar alamat dengan calon korban. Padahal alamat yang diberikan kepada korbannya itu fiktif. Selain itu, pelaku punya nama samaran dari satu tempat ke tempat lain,” ungkap Adnan yang bergabung kelompok NII KW 9 pimpinan Panji Gumilang pada 1989 hingga 2004.

NII gadungan dan sempalan secara bertahap merayu calon korbannya agar terhasut. Menurut Adnan, pelaku cuci terus berusahan ‘mengikat’ mangsanya bila sudah ada tanda-tanda terdoktrin.

“Pencuci otak itu punya target seminggu, paling cepat dua hari mereka dan korban rutin melakukan pertemuan dua hingga tiga kali dalam seminggu dengan membahas keislaman. NII gadungan langsung mengajak hijrah dan membaiat korban, setelah itu dibina. Kerjanya sistematis dan rapi. Kalau NII sempalan hanya membawa korban ke suatu tempat, setelah itu dikuras harta bendanya. Kalau ini hanya sesaat karena untuk memenuhi urusan perut,” paparnya.

Setiap sekali pertemuan, ujar dia, pelaku dan calon korban hanya berjumpa dua jam. Biasanya, calon korban yang diincar NII gadungan itu orang cerdas dan memiliki harta. Kalau NII sempalan hanya memburu korban yang diketahui banyak duit.

Ciri-ciri mudah seperti apa yang perlu diwaspadai terhadap gerakan mereka?

“Nah, ciri-cirinya, pencuci otak ini mengajak mempelajari Islam secara sembunyi-sembunyi. Lalu konten pembicaraannya mengkafirkan orang, memvonis bahwa pemerintah saat ini thogut (setan). Dan diarahkan untuk melakukan penggalangan dana,” tutur Adnan.



Sumber: Baban Gandapurnama–detikBandung, Kamis, 21/04/2011 13:07 WIB

Artikel: http://www.nahimunkar.com/ciri-ciri-aliran-sesat-nii-dan-cara-mereka-cari-mangsa/


read more